Pages

Amusement Park photo: carnival Carnival.jpg

"S"

My 'S'elfish Ways

bokeh photo:  you__re_the_music_in_me.jpg

"E"

Spirit of 'Emotional'

silhouette photo: together tumblr_lbzmb5HB8X1qe0hneo1_500.jpg

"L"

'L'ife Alongs Happiness

Amusement Park photo: carnival Carnival.jpg

"L"

'Love' is Almost Beautiful

color splash photo: Color splash converse converse-1.jpg

"A"

'A' Truly Journey of Me

Saturday, October 15, 2011

teori kritis Jurgen Habermas



A. Sejarah Lahirnya Teori Kritis Habermas Dan Kaitannya Terhadap Kapitalis Modern
Teori Kritis merupakan salah satu dari teori sosiologi, yang dikenal dengan teori kritik masyarakat. Pusat perkembangan teori kritis berada di madzab frankfrut atau Frankfruter School lembaga yang mengembangkan teori kritis sebagai alat refleksi diri untuk keluar dari dogmatisme baru. Dan sebagaimana diketahui melalui sekolah ini pula ajaran-ajaran Marx diperbarui dan bahkan ditinggalkan.
Teori kritis benar-benar mencapai puncak di bawah Jurgen Habermas dan Max Horkheimer. Teori Kritis di bawah tanggung jawab Horkheimer mengalami jalan buntu, namun tidak lama kemudian Jurgen Habermas melakukan revisi-revisi atas teori kritis. Habermas dapat dipandang sebagai pewaris dari teori kritis. Sampai sekarang teori kritis masih tetap konsisten untuk menyerang kapitalisme yang tidak manusiawi (Marcuse, 1969). Teori kritis merupakan sebuah metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Teori kritis tidak hanya berhenti pada fakta-fakta obyektif seperti yang dianut positifisme atau tradisional, akan tetapi menembus di balik realitas sosial untuk menemukan kondisi-kondisi yang timpang.
Teori kritis dikaji melalui dialektika antara teori kritis dengan teori tradisional, di samping itu ia juga bermaksud membongkar kedok-kedok teori tradisional mengenai pertautan pengetahuan dengan kepentingan. Perlu diketahui bahwa ilmu pengetahuan, menurut Habermas, dibedakan menjadi tiga kategori dengan tiga macam kepentingan yang mendasarinya. Pertama, kelompok ilmu empiris, kepentingannya adalah menaklukkan, menemukan hukum-hukum dan mengontrol alam. Kedua, ilmu-ilmu humaniora, yang memiliki kepentingan praktis dan saling memahami,. Kepentingan ilmu ini bukan untuk mendominasi atau menguasai, juga bukan membebaskan, tetapi memperluas saling pemahaman. Ketiga, ilmu kritis yang dikembangkan melalui refleksi diri, sehingga melalui refleksi diri, kita dapat memahami kondisi-kondisi yang tidak adil dan tidak manusiawi dalam kehidupan. Kepentingannya adalah emansipatoris.
Teori kritis harus dipahami dalam konteks jamannya, tetapi manakala jaman itu memiliki karakter yang sama, maka tidak mus-tahil bahwa teori itu pun mempunyai relevansi dengan realitas jaman. Kontekstual dengan logika situasi, logika jaman atau zeit geschit (Popper,1985). Demikian pula manakala kehidupan di Indonesia dewasa ini menunjukkan karakter yang sama, maka teori kritis memiliki relevansinya.
Mendasarkan diri pada pikiran-pikiran Marx yang fundamental dan penerapan kebebasan pada dirinya, teori kritis pada akhirnya mendapatkan pengertian-pengertian baru yaitu:
 (1) bukan kebutuhan nyata manusia yang menentukan proses produksi, melainkan kebutuh-an sendiri diciptakan supaya hasil produksi bisa laku atau produksi tidak untuk memenuhi kebutuhan manusia, melainkan kebutuhan manusia diciptakan, dimanipulasi demi produksi (Suseno, 1992:166); (2) perkembangan teknologi semakin menurut hukumnya sendiri, lepas dari kontrol manusia; (3) kebahagiaan yang ditawarkan oleh industri konsumsi adalah kebahagiaan semu, karena tidak membawa manusia pada pemilikan diri yang tenang, melainkan membuatnya tergantung dari semakin banyak benda; Pada hal menurut Fromm (1987) seharusnya menjadikan being more dan bukan having more; (4) manusia tidak lagi bekerja hanya untuk menjamin kebutuhannya yang nyata dan selebihnya untuk mengembangkan diri, melainkan keterpaksaan untuk semakin banyak memiliki benda-benda konsumsi memaksa dia untuk selalu mencari uang lebih banyak lagi; (5). teknologi modern tidak memanusiakan proses pekerjaan melainkan semakin memperbudak manusia; (6) segala kelancaran sarana-sarana tidak meningkatkan komunikasi antar manusia, melainkan mengisola-si individu (Sindhunata, 1983:XXI). Teori kritis juga merupakan kombinasi paradigma fakta sosial dan definisi sosial dengan titik tekan pada kritik sosial (Ritzer, 1992:142).
Habermas melihat kapitalisme modern seperti yang dikarakterkan oleh dominasi negara atas ekonomi dan bidang-bidang lain dari kehidupan sosial. Analisa mengenai kapitalisme awal serupa dengan analisanya Marx dengan krisis ekonomi sebagai hal yang paling penting. ketika sistem berkembang krisis ekonomi dan konflik yang di hasilkan antara pekerjaan dan model di lihat semata-mata sebagai krisis sistem.
Menurut Habermas bahwa institusi sosial ada tidak hanya untuk membantu dan mempertahankan produksi ekonomi tetapi juga menekan kembali keinginan yang mau membuat kehidupan sosial menjadi tidak mung­kin. Habermas menggunakan pendekatan historis dalam mengkritik sesuatu. Dengan pola berpikir historis dimaksud bahwa realitas sosial yang ada sekarang hanya dapat di pahami betul kalau dilihat sebagai hasil sebuah sejarah. Ilmu-ilmu positif menyelubungi secara idiologis fakta yang paling fundamental bahwa sejarah itu di buat oleh manusia sendiri (dalam bahasa Marx: manusia sebagai Gattungswesen atau makhluk jenis membuat sejarahnya sendiri), bahwa sejarah itu merupakan sejarah penindasan (kapitalisme), bahwa penindasan itu justru ditutup-tutupi sehingga realitas sekarang tampak sebagai objektifitas yang wajar.
 Habermas bicara tentang “teori kritis sejarah dengan maksud praktis”. Dengan meminjam pola pendekatan psikoanalisa Sigmund Freud, ia mengharapkan agar ingatan kembali terhadap sejarah penderitaan dan penindasan (yang di tutup oleh “teori positif”) melepaskan kekuatan-kekuatan emansipatoris (menyadari diri sebagai kurban penindasan terselubung memberikan tekad untuk membebaskan diri dari sebuah situasi yang sekarang ti­dak lagi dipandang objektif perlu, melainkan sebagai hasil proses sejarah). Habermas sampai pada kesimpulan bahwa komunikasi yang bebas menjadi bagian integral pengembangan teori kritis. Hubermas tidak selalu menggunakan ga­ya filsafat kritis. Karena dia melihat adanya perubahan dalam sosial. Namun perubahan tersebut tetap dalam kerangka sosial yang nyata. 
B.  Perbandingan teori kritis dan teori tradisional
Teori tradisional  sebagaimana yang diserang oleh teori kritis pada dasarnya juga teori positivistik. Salah satu tema dalam program teori kritis adalah memberikan kritik terhadap positivisme. Sehingga teori kritik berupaya untuk melakukan kritik atas masalah positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yang beranggapan bahwailmu-ilmu sosial itu bebas nilai, terlepas dari praktik sosial dan moralitas, dapat dipakai untuk prediksi, bersifat objektif, dab sebagainya. Implikasi logisnya adalah bahwa pengetahuan yang dianggap benar hanyalah pengetahuan ilmiah, dan pengetahuan semacam itu hanya diperoleh dengan metode ilmu-ilmu alam. Oleh teori kritik, anggapan tersebut dikritik sebagai (ilmu yang menyembunyikan) dukungan terhadap status quo masyarakat dibalik kedok obyektivitas. Kenyataan inilah yang oleh Horkheimer dikatakan bahwa positivisme tidak lain digunakan sebagai ideologi.
Menurut Horkheimer, pada dasrnya hanya ada dua ilmu, yaitu ilmu-ilmu alam yang menganut konsep Teori tradisional dan ilmu-ilmu kemanusiaan yang diharapkan dapat dianut oleh Teori Kritis, yang karena perbedaan objek telah mempengaruhi kerangka metodologi yang digunakan oleh keduanya.
Teori Tradisional dan Teori Kritis
Teori Tradisional
Teori Kritis
Pengandaian
Gejala
1.    Ahistoris
2.    Netral
3.    Pemisahan terhadap praksis
1.      Universal
2.      Ideologis
3.      Status quo
1.    Historis
2.    Kritis terhadap diri sendiri
3.    Kecurigaan kritis terhadap masyarakat
4.    Teori dengan maksud praktis

Pengandaian pertama dari Teori Tradisional adalah bahwa pengetahuan manusia tidak menyejarah sehingga teori-teori yang dihasilkan juga bersifat ahistoris dan asosial. Menurut Horkheimer teori tradisional tidak mungkin menjadi teori emansipatoris, bahkan teori tradisional dengan sifatnya yang ideologis justru melestarikan keadaan yang ada. Pengandaian kedua adalah netraliasnya terhadap masyarakat sebagai objek. Jadi kenetralan nya justru dengan diam-diam membenarkan keadaan yang ada, pada hal keadaan yang ada adalah membelenggu dan menindas manusia (dehumanisasi). Ketiga, pemisahan dari praksis adalah pembenaran teori ini terhadap fakta sehingga tidak menarik konsekuensi-konsekuensi praktis sebagai ubahannya. Teori tradisional memisahkan teori dan praksis, maksudnya teori tradisional membiarkan fakta secara lahiriah. Hal ini berarti bahwa teori tradisional tidak memikirkan peran dan aplikasi praktis dari sistem konseptual atau teoretisnya.
Sedangka teori kritis ditinjau, Pertama bersifat historis dengan menyelenggarakan ‘kritik imanen’ terhadap kondisi-kondisi kemasyarakatan yang tidak manusiawi. Kedua, jika Teori Tradisional menggunakan verifikasi empiris sebagai kriterium kebenaran, maka teori kritis mempertahankan kebenaran melalui evaluasi, kritik, dan refleksi diri, sehingga bersifat kritis tehadap dirinya sendiri. Ketiga, kecurigaan kritis terhadap masyarakat aktual secara Marxian. Keempat, karena merupakan teori dengan maksud praksis, maka teori Kritis harus bisa memberikan kesadaran untuk mengubah realitas sehingga tidak memisahkan teori dan praksis. Yaitu tindakan kritis yang akan mengubah mesyarakat dan bukan sekadar mencari kemanfaatan pragmatis dalam masyarakat.
Agar teori kritis dapat bertindak emansipatoris, maka menurut Horkheimer :
1.    Teori kritis harus selalu curiga dan kritis terhadap masyarakat
2.    Teori kritis berpikir secara historis
3.    Teori kritis tidak memisahkan teori dengan praxis.
C. Penerapan Teori Kritis Habermas Dalam Kehidupan Bermasyarakat dan Dunia Pendidikan
1.      Penerapan teori kritis dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam mencapai tujuannya, kajian budaya dalam masyarakat membutuhkan sebuah teori yang bisa menganalisis kasus-kasus yang terjadi dengan metodelogi “khas” kajian budaya, disinilah penerapan teori kritis dalam kajian budaya dapat di aplikasikan, bahkan teori kritis menjadi teori utama dikarenakan adanya kesamaan tujuan yang ingin dicapai oleh teori kritis maupun kajian budaya, yakni mengungkap kondisi yang sebenarnya dibalik suatu keadaan “aman” dan “nyaman” yang teramati secara empirik, yang ternyata penuh dengan realitas semu. Maka, kajian budaya sangat berpotensi memberikan peluang bagi suatu kajian yang baru dan menarik minat mahasiswa.Validitas (keabsahan) penelitian dalam Cultural Studies yang menuju ‘kebenaran’.
Contoh dari penerapan hal tersebut seperti yang pernah diungkapkan oleh Seorang Profesor komunikasi Universitas Colorado, Robert Craig, telah memetakan tujuh bidang tradisi dalam teori  kritis komunikasi yang salah satunya adalah Tradisi Retorika (komunikasi sebagai ilmu bicara yang sarat seni)Ada enam keistimewaan yang mencirikan tradisi ini:
a.       Keyakinan bahwa berbicara membedakan manusia dari binatang.
b.      Ada kepercayaan bahwa pidato publik yang disampaikan dalam forum demokrasi adalah cara yang lebih efektif untuk memecahkan masalah politik.
c.       Retorika merupakan sebuah strategi di mana seorang pembicara mencoba mempengaruhi seorang audiens dari sekian banyak audiens melalui pidato yang jelas-jelas bersifat persuasive. Public speaking pada dasarnya merupakan komunikasi satu arah.
d.      Pelatihan kecakapan pidato adalah dasar pendidikan kepemimpinan. Seorang pemimpin harus mampu menciptakan argumen-argumen yang kuat lalu dengan lantang menyuarakannya.
e.       Menekankan pada kekuatan dan keindahan bahasa untuk menggerakkan orang banyak secara emosional dan menggerakkan mereka untuk beraksi/bertindak. Pengertian Retorika lebih merujuk kepada seni bicara daripada ilmu berbicara.
f.       Sampai tahun 1800-an, perempuan tidak memiliki kesempatan untuk menyuarakan haknya. Jadi retorika merupakan sebuah keistimewaan bagi pergerakan wanita di Amerika yang memperjuangkan haknya untuk bisa berbicara di depan publik.
2.      Pertautan Antara Pengetahuan dengan Kepentingan.

Dimensi Kerja
Dimensi Komunikasi
Dimensi Kekuasaan
Kepentingan
Teknis
praktis
emansipatoris
Pengetahuan
Informasi
Interprestasi
Analisis
Sifat Ilmu
Empiris-analitis
Historis-Hermeneutis
Refleksi diri
Jenis Ilmu
Ilmu Alam, Ilmu Sosial Empiris
Ilmu Humaniora, Ilmu Sosial Simbolis
Ilmu kritis
Tindakan
Tindakan Rasional Bertujuan
Tindakan Komunikatif
Tindakan Revolusioner Emansipatoris
Ungkapan
Proposisi-Proposisi deduktif nomologal
Bahasa linguistic sehari-hari, language game dialogan
Pembicaraan emansipatoris ungkapan-ungkapan
Metodologi
Empiris-analitis
Historis-Hermeneutis
Refleksi diri
Sistematika Metodis
Ilmu Empiris Analitis
Ilmu Historis Hermeneutis
Ilmu Kritis

perbedaan antara "classical dan operant conditioning" dalam teori belajar Behavioristik


Classical conditioning (pengkondisian klasik) di kemukakan oleh seorang psikolog Rusia bernama Ivan pavlov. Pengkondisian klasik adalah tipe pembelajaran dimana suatu organisme belajar untuk mengaitkan atau mengasosiasikan stimuli. Dalam hal ini stimuli netral diasosiasian dengan stimulus yang bermakna dan menimbulkan kapasitas untuk mengeluarkan respon yang sama. Tedapat dua tipe stimuli dan dua tipe respon, yaitu: unconditioned stimulus (US), unconditioned response (UR), conditioned stimulus (CS), dan conditioned response (CR). Classical conditioning merupakan kemampuan merespon stimulus baru berdasarkan pengalaman yang diperoleh secara berulang – ulang. Dalam classical conditioning terdapat prinsip continguity yang sangat berperan penting yang berbunyi, “kapanpun terdapat dua alat indra terjadi secara bersama-sama dan berulang kali, maka keduanya saling berkaitan. akhirnya bila hanya satu dari stimulus terjadi, maka yang lainnya ikut merespon sebagai perwujudannya terjadilah suatu jawaban yang otomatis. Misalnya ketika mata kita terkena debu atau kotoran lainnya yang berasal sari udara, secara refleks kita akan langsung menutup mata. Contoh lainnya ketika tangan kita terkena api atau dekat dengan api, secara serentak pasti tangan kita akan langsung menghindar dari api tersebut.

Prinsip Classical conditioning tidak begitu saja dapat digunakan, melainkan terdapat beberapa petunjuk untuk menggunakannya. Pertama, mengkaitkan kejadian yang positif dan menyenangkan dalam tugas belajar. Misalnya agar proses pembelajaran dalam kelas tidak membosankan, sesekali seorang guru mengadakan sejenis permainan kelompok untuk merileksasikan sejenak pikiran siswa. Dengan permainan ini proses belajar akan lebih menyenangkan dan tentunya siswa akan lebih semangat untuk belajar.
Kedua, memberikan bantuan kepada siswa secara sukarela kepada siswa untuk menghadapi situasi yang penuh kecemasan. Misalnya seorang anak yang pemalu, diberi tanggung jawab untuk memimpin berdoa di depan kelas. Selain memimpin doa, berikan kesempatan kepadanya untuk kegiatan yang sama di depan kelas. Hal itu bisa membantu anak tersebut untuk melatih mentalnya agar menjadi lebih baik dan percaya diri.
Ketiga, membantu siswa mengenal perbedaan dan kesamaan antara situasi yang dapat mereka diskriminasikan dan simpulkan secara tepat. Misalnya seorang guru memberi pengarahan kepada siswa kalau diberi sesuatu barang dari orang yang belum dikenal seharusnya tidak mau menerimanya. Karena kemungkinan orang tersebut dapat berbuat yang tidak baik kepada kita.

Operant Conditioning (pengkondisian operant) adalah sebentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan diulangi. percobaan yang dilakukan oleh Skinner, dilakukan pada seekor tikus yang di masukkan dalam boxs, yang disebut skinner's box. 

Pada awalnya penelitian mengenai operant conditioning dilakukan oleh E.I. Thorndike. Namun penelitian yang dilakukan oleh Skinner lebih sederhana dan lebih dapat diterima secara luas.
Maksud dari pengkondisian ini yaitu proses pembeljaran dimana seseorang secara sadar terlibat dan aktif bertindak pada lingkungannya dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Operant conditing adalah belajar dalam hal perilaku otomatis diperkuat atau diperlemah oleh konsekuensi atau tujuan (Santrock and Yussen, 1992).
Prinsip Classical conditioning tidak begitu saja dapat digunakan, melainkan terdapat beberapa petunjuk untuk menggunakannya. Pertama, mengkaitkan kejadian yang positif dan menyenangkan dalam tugas belajar. Misalnya agar proses pembelajaran dalam kelas tidak membosankan, sesekali seorang guru mengadakan sejenis permainan kelompok untuk merileksasikan sejenak pikiran siswa. Dengan permainan ini proses belajar akan lebih menyenangkan dan tentunya siswa akan lebih semangat untuk belajar.
Kedua, memberikan bantuan kepada siswa secara sukarela kepada siswa untuk menghadapi situasi yang penuh kecemasan. Misalnya seorang anak yang pemalu, diberi tanggung jawab untuk memimpin berdoa di depan kelas. Selain memimpin doa, berikan kesempatan kepadanya untuk kegiatan yang sama di depan kelas. Hal itu bisa membantu anak tersebut untuk melatih mentalnya agar menjadi lebih baik dan percaya diri.
Ketiga, membantu siswa mengenal perbedaan dan kesamaan antara situasi yang dapat mereka diskriminasikan dan simpulkan secara tepat. Misalnya seorang guru memberi pengarahan kepada siswa kalau diberi sesuatu barang dari orang yang belum dikenal seharusnya tidak mau menerimanya. Karena kemungkinan orang tersebut dapat berbuat yang tidak baik kepada kita.
Pada dasarnya pengukuhan itu komplek. Secara sederhana pengukuhan dibedakan menjadi pengukuhan positif yang sifatnya ditambahkan atau diperoleh dan pengukuhan negatif yang sifatnya dikurangi, ditolak atau dijauhi. Anatar kedua pengukuhan ini sulit dipahami karena keduanya melibatkan stimulus yang berlawanan dan tidak menyenangkan. Perlu kita cermati bahwa pengukuhan negatif juga dapat meningkatkan kemungkinan munculnya perilaku, sementara itu hukuman menurunkan kemungkinan munculnya respon.
Terdapat beberapa susunan yang dapat meningkatkan efektivitas pengukuhan. Yang pertama yaitu interval waktu. Belajar lebih efektif dalam operant conditioning karena interval stimulus dan responnya sangat singkat (perilaku otomatis), dibandingkan classical conditioning (perlu proses yang tidak dapat secara otomatis). Yang kedua yaitu pembentukan. Dengan pembentukan diharapkan dapat mengembangkan perilaku individu yang dikehendaki. Misalnya terdapat aturan bahwa anak yang baru pertama masuk sekolah diharapkan cepat mengambil tempat duduk dan duduk dengan tenang.
Yang ketiga yaitu penjadwalan pengukuhan. Penjadwalan pengukuhan menentukan kejadian suatu respon yang akan dikukuhkan. Penjadwalan sepenuhnya berdasarkan interval waktu dan frekuensi perilaku secara spesifik. Yang keempat yaitu pengukuhan primer dan sekunder. Pengukuhan primer menggunakan pengukuhan dalam memuaskan diri sendiri tanpa melalui belajar dari lingkungan, sdangkan pengukuhan sekunder mendapatkan nilai positif melalui pengalaman yang dapat dipelajari (bersifat kondisional).
Prinsip ketiga dalam teori behavioral yaitu Pembentukan Kebiasaan. Presentasi dalam pembentukan kebiasaan terjadi berulang – ulang. Misalnya kebiasaan seorang bayi yang ingin minum susu. Si bayi akan memasukkan tangan ke mulutnya dan akan berhenti ketika bayi tersebut telah mendapatkan ASI dari ibunya.
Prinsip yang terakhir atau yang keempat dalam teori behaviorial yaitu Peniruan (Imitation). Imitasi atau peniruan terjadi ketika anak – anak belajar perilaku baru dengan melihat orang lain bertindak. Dalam beberapa hal imitasi membutuhkan waktu yang lebih sedikit daripada operant conditioning. Selain itu pada operant conditioning hanya memberikan pembelajaran yang terbatas dan mengabaikan situasi penting terutama pada pengaruh social terhadap belajar.
Teori kedua yaitu Teori Kognitif. Pada dasarnya teori kognitif memang berbeda dengan teori behavioral. Pada teori kognitif, pengetahuan dipelajari dan perubahan dalam pengetahuan menyebabkan adanya perubahan perilaku. Sedangkan pada teori behavioral, perilaku baru itu sendiri yang dipelajari. Pendekatan kognitif menyarankan bahwa apa yang dibawa oleh individu dalam situasi belajar merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam proses belajar. Pengetahuan menciptakan penalaran kita, maemfokuskan perhatian kita, dan merupakan penopang untuk mengingat.